Langsung ke konten utama

Goresan di Dinding (CERPEN)

           Goresan-goresan di dinding itu menganggungku. Dalam kegelapan yang bercampur oleh goresan semburat mentari terbenam, mereka nampak bicara padaku dalam kalimat-kalimat yang tidak mampu aku telaah, menghipnotisku dengan bayang-bayang gelap dan bisikan yang mengancam untuk mengutuk dan membunuh diriku sendiri. Tiga garis membelah miring sebuah dinding, layaknya kuku-kuku monster yang mampu menggores dinding semen setebal 2 inci hingga memperlihatkan bata merah –daging atau otot-tulang tembok di samping pintu. Goresan itu panjangnya tidak lebih dari satu setengah meter dengan lebar hanya sekitar beberapa inci, namun terkadang terlihat begitu besar setiap cahaya redup memapar padanya dan aku merasa mereka sanggup menelanku dan seluruh isi rumah ke dalam celah yang begitu kecil untuk manusia. Dan itu sangat menghantuiku.

Sudah beberapa waktu goresan itu tinggal di sana. Di sudut paling depan rumah, dinding yang dibelakangi setiap manusia yang masuk melalui pintu depan dan tidak akan nampak kecuali kau akan keluar melalui pintu yang sama. Goresan itu tiba-tiba muncul beberapa minggu lalu, sekitar empat atau lima. Aku kurang yakin tapi yang pasti dia hadir tanpa undangan atau pun penjelasan mengapa dan untuk apa dia ada di sini. Benar-benar mengherankan.

Setiap sore sesuai mengurus ladang gandum depan rumah aku selalu duduk di sebuah sofa menghadap ke sebuah jendela yang berjejer dengan goresan-goresan itu. Dan aku merasa ada sesuatu yang mistis dari mereka. Sesuatu yang membuatku tenang ketika melihat cahaya mentari sore mengusap wajahku sambil ku tatap goresan-goresan itu, mereka seperti menyukai wajahku dan aneh bahwa itu membuatku merasa tenang dan merasa dihargai olehnya.

Namun sisa dari hari itu adalah kegelisahan yang mencekam. Begitu matahari terbenam dan kegelapan menelan hampir seluruh alam, goresan-goresan itu seperti menyumpah-nyumpah atas keberadaanku dan keluargaku di rumah ini. Bahkan dalam beberapa kali kesempatan aku merasa melihat sebuah cahaya kekuningan keluar dari goresan itu ketika malam tiba. Cahayanya begitu terang untuk menyilaukan mata dan itu terjadi tepat di depan mataku. Namun bukan cahaya yang tenang seperti mentari yang menyayangi setiap mahluk yang tersinari olehnya. Cahaya kekuningan itu begitu menakutkan dan mencekam, seperti sebuah ketidakpastian atau keburu-buruan yang menginginkan keselamatan meski harus melukai orang lain, memaksamu untuk menurutinya tapi enggan untuk menyatakan secara terang-terangan. Meskipun istriku –Jeannie, mengatakan bahwa aku terlalu banyak minum, tapi aku sangat yakin tentang cahaya itu dan istriku tahu aku tidak bisa minum alkohol. Bisa jadi dia kira aku hanya bercanda dan mengabaikan ucapanku.

Aku dan istriku tinggal bersama dengan putra dan putri kami, Aur dan Ami. Mereka kembar dan begitu manis, selalu menuruti dan bersikap baik kepada orang tua mereka. Mereka tidak pernah berkata tidak terhadap permintaan kami, begitu pula melakukan sesuatu atau mengucapkan sesuatu yang akan membuat kami marah. Kehidupan keluarga kami di rumah ini begitu nyaman karena kehadiran mereka dan aku harap mereka juga seperti itu. Namun itu semua berubah ketika goresan itu datang. Istriku terlihat begitu sedih setiap kali melihat Ami dan Aur, meskipun mereka selalu tersenyum dan berusaha menghibur ibu mereka. Aku selalu bilang bahwa Ami dan Aur tidak pernah suka melihatnya bersedih, namun Jeannie selalu saja marah mengatakan bahwa aku mengada-ngada dan menyumpahiku dengan kata-kata yang memilukan. Tapi aku begitu menyanyanginya hingga tidak sanggup membalas atau bahkan menjawab. Yang kuinginkan hanya dia memahami bahwa putra-putri kami tidak akan senang jika dia bersedih. Dan dia kemudian akan memaafkanku dan mulai menghiburku dengan cerita dan gosip tentang tetangga yang ditemuinya di desa, layaknya manusia yang hidup dengan manusia lain. Aku tidak suka gosip, tapi aku suka dengan ekspresinya ketika bercerita, hal itu terasa begitu tulus dan ketulusan itu membuatnya semakin cantik.

Beberapa hari ini rumahku sering kedatangan tamu. Beberapa orang berpakaian jas rapi selalu duduk di depan goresan-goresan itu. Istriku tidak menyukainya, begitu pula Ami dan Aur mereka selalu kebelakang ketika orang-orang itu datang. Yang satu memperkenalkan diri sebagai Vulka, seorang kontraktor yang akan membangun sebuah pusat perbelanjaan dilingkungan kami dan dia memintaku untuk menjual tanah yang ku tempati sekarang kepadanya. Aku telah menolaknya beberapa kali, tapi kemudian dia akan tetap datang dengan penawaran lain, uang yang lebih banyak atau tanah di tempat lain sebagai ganti milikku. Dan itu menggangguku, karena keluargaku tidak menyukainya dan aku tidak suka menjual tanah warisan yang sudah menghidupi keluargaku selama beberapa generasi ini.

Sampai suatu hari, dia tidak lagi datang. Sebelumnya dia bilang dia sudah lelah dengan negosiasi ini, sementara aku bilang tidak pernah terjadi negosiasi apa pun di anatara kita dan kemudian dia pergi dengan membanting pintu. Istriku merasa khawatir karena hal itu dan aku bilang semua akan baik-baik saja dan aku akan berusaha mengatasinya. Walikota adalah orang yang sangat baik dan membenci orang-orang semacam itu, pasti dia akan membantuku jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.

Pagi harinya aku menemukan goresan baru di dinding itu, tidak hanya goresan kecil atau satu tapi begitu banyak goresan baru yang berada di dinding. Tidak ada jejak kaki atau bekas dari semen yang tergores, hanya goresan besar sepanjang satu setengah meter berjumlah empat yang berada di sekitar goresan lama. Dan itu begitu mengherankan. Jeanne, Aur, dan Ami juga sama terkejutnya dan mereka mulai merasa takut tentang dari mana goresan itu berasal. Namun ketakutan mereka hanya sementara, setelah dua tiga hari mereka tidak lagi memikirkan persoalan bertambahnya goresan yang tidak tahu sopan santun itu. Dan kami kembali pada rutinitas kami, aku memasak, mencuci, dan bekerja di ladang. Ya memang tidak baik untuk memikirkan persoalan itu terlalu dalam bisa-bisa membuatmu gila.

Bertambahnya goresan tidak membuat rumah semakin mencekam atau menakutkan bagiku. Jeannie sepertinya memahaminya, awalnya dia terlihat takut dengan goresan yang bertambah itu tapi melihatku ketakutan setiap malam setelah melewati goresan itu aku rasa membuatnya merasa pemberani dan lebih dapat diandalkan daripada suaminya. Dan hanya aku yang bisa melihat cahaya kekuningan yang keluar dari goresan-goresan itu jadi mereka tidak akan semenakutkan apa yang aku lihat di mata orang lain. Membuat segalanya kembali menjadi hari yang membahagiakan bersama keluargaku.

Dua minggu kemudian Walikota datang dengan beberapa orang lain mengenakan seragam polisi, sekitar empat orang dengan dua mobil. Mereka parkir tepat di depan rumahku di samping traktor yang kugunakan untuk membajak ladang gandum dan aku mempersilahkan mereka masuk dan menyiapkan jamuan sebagai tuan rumah yang baik. Tidak lama sampai lima orang itu duduk di depan goresan-goresan di dinding itu bersamaku. Bapak walikota begitu ramah dan begitu baik dia menanyakan kabarku selama ini, memang sudah lama dia tidak kemari semenjak –aku tidak terlalu ingat, tapi sudah sekitar beberapa minggu yang lalu padahal dia dulu sering kemari dengan istrinya yang kebetulan teman dekat Jeannie di perkumpulan ibu-ibu setempat.

Setelah sekitar setengah jam kami berbasa-basi akhirnya Walikota menyatakan urusannya. Ia bilang dia kemari mengantarkan polisi-polisi itu tentang hilangnya beberapa kontraktor yang sebelumnya datang ke kota ini.

“Mereka dilaporkan hilang sekitar dua minggu lalu oleh keluarga mereka dan perusahaan tempat mereka bekerja tidak mendapat laporan bahwa mereka telah kembali dari kota ini.” Begitu jelas seorang dari mereka.

“Apa kau tahu sesuatu tentang itu?” Walikota bertanya padaku. Aku bilang tidak kemudian ku ceritakan apa yang terjadi ketika mereka datang dan menawar rumah dan tanah ini. Tentang mereka yang datang berkali-kali tapi kemudian tidak kembali lagi karena dan perkiraanku bahwa mereka telah menyerah.

Walikota dan polisi-polisi itu mendengarkan sambil mencatat perkataanku dalam buku kecil yang mereka bawa. Jam tangan salah satu dari mereka sangat bagus, aku ingin memilikinya. Setelah aku selesai bercerita, mereka meminta ijin untuk memeriksa rumahku dan aku persilahkan saja, lagipula tidak ada salahnya seorang polisi memeriksa setiap tempat dan aku merasa kasihan dengan keluarga yang ditinggalkan karena dulu sekali, aku pun pernah kehilangan Jeannie dan anak-anakku.

Setelah beberapa saat mereka kemudian selesai dan tidak menemukan apa pun, mereka berterima kasih padaku dan bersiap untuk pergi. Bapak walikota ikut berpamitan dan menyalami kedua tanganku, seraya berkata

“Terima kasih atas bantuanmu, aku minta maaf jika merepotkanmu, terutama setelah kematian istri dan anak-anakmu.” Suaranya bergetar diliputi kesedihan dan rasa simpati yang dalam.

“Tidak apa-apa Pak, aku senang bisa membantu.” Aku tidak ingin menyakiti orang tua yang begitu perhatian pada istri dan anak-anakku. Meskipun aku tidak ingin memberitahunya bahwa Jeannie dan anak-anakku ada di sini dan menyaksikan segalanya sejak malam pemakaman mereka. Mereka hanya tersenyum dan bersikap layaknya mengantarkan tamu mereka pulang.

Tidak lama kemudian aku sudah sendirian di kursi sofa menghadap goresan-goresan itu dan menatap matahari sore dan dengan lima goresan baru di dinding. Aku meminum sebotol whisky yang ada di meja, meneguknya sampai habis dalam sekali angkat. Ketika rotasi bumi membawa wilayah ini pada titik gelap, aku beranjak dari kesantaian ini. Gudang rumah cukup gelap dan dingin, jadi segera saja aku mengambil sekop dan membawa badan-badan para penawar itu pergi dari sini. Aku perlu tempat untuk menyembunyikan mereka.

Mobilku melaju kencang menuju hutan. Dan berputar-putar cukup lama untuk memastikan tempat yang tidak dijamah siapa pun. Pikiranku bekerja sangat keras, cukup keras sampai denyut dikepalaku terdengar seperti suara palu yang memukul paku. Namun secara tiba-tiba sebuah brankas memori jatuh dalam pikiranku. Memori berisi ide. Ide yang sebelumnya datang ketika aku menguburkan Vulka dan sebelumnya pula ketika aku menanamkan tubuh keluargaku di tembok rumah. Kata-kata yang begitu dalam dan menghipnotisku setiap matahari yang menyayangi keluar dari persembunyiannya.

“Terserahlah, kalau siang juga bakal lupa.”-

Bantul, April 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puan Yang Ingin Merangkul Rembulan.

 Aku berlari menuju hujan Yang merintik dalam doa, Dan keinginan seorang puan untuk merangkul rembulan. Jalanan ini tak pernah sepi Kota yang terus berkilat Tanpa kenal kata mati, Memikat kedua matamu untuk terus berharap Menarik mu 'tuk selalu memohon di balik malam gelap. Aku tak pernah mengerti Kesederhanaan dalam batin itu Yang bergejolak menginginkan, Yang hanya sampai pada rasa sedih Dan putus asa. Aku hanya mengerti Bahwa jarak bukan tentang kereta Yang melesat jauh ke Jakarta, Namun tentang kau yang menatapnya Jauh di sana,  Sementara aku terjebak mengejar rintik yang menetes dalam doa. 5 Januari 2025

Dim Light

I'll let my heart sing your name,  even if you were far away when our eyes met.  I burn myself in a hellish love with a joyous heart,  for a fleeting happiness that vanishes as quickly as it ignites in this terrible world. That I'd burn for honest, and dim the dark with briefs lifeline.- Bantul, January 1st, 2025.

Maling Maut (CERPEN)

  Malam tidak pernah mengikari janji. Selalu datang ketika mentari terbenam, menyenangkan karena kepastiannya. Jauh dari manusia yang sulit dimengerti, tidak tertebak, dan banyak maunya. Sepertiku, maling terkenal tidak kenal ampun. ‘Maling Maut.’ Begitu Romi pemabuk kampung sebelah menjuluki aku. Ngawur memang itu orang. Karena aku beraksi sendirian dan tidak pernah tertangkap. “Bak Maut yang pasti datang tanpa ada yang tahu, barang pasti hilang dalam tanganmu!” begitu pernyataannya penuh rasa bangga. Romi adalah satu-satunya orang yang tahu profesiku ini, pun bukan karena aku berbagi rahasia dengannya. Hanya kebetulan dia memergoki aku sedang menggenggam kalung emas milik Cik Siska, perempuan kaya tukang pamer dari RT sebelah. Sore itu, aku mengayuh sepeda untuk pulang dari taman kota. Di saat senggangku dari profesi, teman-teman dan warga di kampung tempat tinggalku hanya tahu kalau aku seorang pelukis. Aku memang sangat suka melukis, di manapun dan kapanpun. Dan sore itu aku ...