Langsung ke konten utama

Maling Maut (CERPEN)

 

Malam tidak pernah mengikari janji. Selalu datang ketika mentari terbenam, menyenangkan karena kepastiannya. Jauh dari manusia yang sulit dimengerti, tidak tertebak, dan banyak maunya. Sepertiku, maling terkenal tidak kenal ampun. ‘Maling Maut.’ Begitu Romi pemabuk kampung sebelah menjuluki aku. Ngawur memang itu orang. Karena aku beraksi sendirian dan tidak pernah tertangkap. “Bak Maut yang pasti datang tanpa ada yang tahu, barang pasti hilang dalam tanganmu!” begitu pernyataannya penuh rasa bangga. Romi adalah satu-satunya orang yang tahu profesiku ini, pun bukan karena aku berbagi rahasia dengannya. Hanya kebetulan dia memergoki aku sedang menggenggam kalung emas milik Cik Siska, perempuan kaya tukang pamer dari RT sebelah.

Sore itu, aku mengayuh sepeda untuk pulang dari taman kota. Di saat senggangku dari profesi, teman-teman dan warga di kampung tempat tinggalku hanya tahu kalau aku seorang pelukis. Aku memang sangat suka melukis, di manapun dan kapanpun. Dan sore itu aku berhasil melukis salah satu gedung yang baru selesai dibangun. Pak Sukris tetanggaku, memintaku menggambarnya beberapa waktu lalu, dia bilang dia selalu menyukai gambarku, meskipun secara khusus tidak pernah ada yang memuji keindahan gambar buatanku dan maksud-maksud dibaliknya. Kebanyakan hanya sebatas membutuhkan sesorang yang cukup pandai menggambar untuk nilai pelajaran sekolah anaknya, atau menggambar sketsa-sketsa tertentu. Jadi aku kira pujian mereka hanya sebatas untuk melegakan pilihan mereka untuk meminta bantuanku. Namun, Pak Sukris berbeda. Dia rajin melihat dan menanyakan gambar-gambarku. Termasuk meminta pendapatku tentang beberapa karya lukis atau gambar lain. Sampai di hari ini, kebetulan aku sedang senggang dan tidak ada kerjaan ketika beliau memintaku menggambar gedung baru itu.

Selesai aku antar, Pak Sukris berterimakasih dan memberikanku amplop besar berisi kertas cek. Aku terbelalak dengan jumlahnya yang begitu besar. Bahkan bisa dibilang terlalu besar untuk seorang pelukis yang hanya melukis untuk hobi. Jumlah sebesar itu bisa membuatku berpesta beberapa hari, bahkan tidak maling selama beberapa minggu. Ah ya sudah. Kurasa dia memang orang kaya. Aku ingat dia mengganti mobilnya tiap beberapa bulan sekali, jadi aku rasa dia memang punya uang. Bisa jadi, aku akan target rumah itu suatu saat nanti. Maka, aku memutuskan untuk tidak banyak bertanya.

Beberapa kali setelah itu Pak Sukris selalu memintaku menggambar gedung-gedung besar yang berada di tengah kota. Dan dia selalu minta aku untuk menggambarnya dengan detil. Sampai ke coretan-coretan kecil. Bahkan termasuk siapa saja yang selalu ada di sana, seperti karyawan, pelayan, pengunjung, atau sekedar pengamen yang sering mampir melewatinya.

“Cih, kalau begini kenapa ndak difoto saja.” keluhku pada Romi.

“Yah kamu ndak tahu kan, niatnya apa. Toh kamu dapat, buat traktir aku minum pula.” Kemudian dia tertawa terbahak sambil bercerita soal kisah cintanya pada Nyoman, si bunga desa. Meskipun semua orang tahu bahwa kisah cinta itu hanya kisah yang bertepuk sebelah tangan. Romi si pemuda mabuk jatuh hati pada Nyoman yang notabene Putri Bupati kota sebelah. Pasti anak ini sudah gila. Kerja saja serabutan, kok bisa-bisanya mengejar perempuan yang pakaiannya seharga pendapatannya sebulan.

Hari-hariku setelahnya jadi terasa menyenangkan. Aku tidak perlu maling lagi dan hidupku bercukupan. Aku tidak perlu mempertaruhkan nyawaku hanya sekedar untuk membeli rokok atau sebotol anggur, bahkan aku sekarang punya tabungan. Mungkin nanti bisa untuk membeli rumah baru dan kemudian memulai usaha kecil-kecilan. Aku tidak akan perlu untuk maling lagi, karena sebelum nyala batang terakhir dari bungkus rokok ku, aku sudah beli dua bungkus lagi. Hanya perlu melukis selama beberapa hari, kemudian dapat uang untuk sebulan. Selalu seperti itu. Tentunya hanya sampai beberapa waktu lalu.

“Ini sepertinya terakhir kali aku akan memberimu.” Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Sial, Pak Sukris tidak lagi bisa jadi sumber penghasilanku. Dia akan pindah beberapa hari lagi, ke kota yang sangat jauh dari sini. Yah, pindahnya dia itu tidak penting, karena yang jadi persoalan adalah dia merupakan satu-satunya pemasukanku selama setahun ini. Untungnya aku sudah punya tabungan, jadi setidaknya bisa untuk berbuat sesuatu untuk mempertahankan hidup. Tidak perlu aku maling lagi.

Pikirku begitu, sampai beberapa menit lalu. Ketika sosok berpakaian hitam ini masuk ke rumahku. Dan aku pergoki sedang mengacak-acak lemari simpanan ketika aku sedang keluar membeli anggur untuk pesta dengan Romi. Naluriku menjerit. Aku melihatnya membawa pistol yang disarungkan dengan wadah kulit dipinggangnya. Orang ini berbahaya. Pistol sangat sulit didapatkan karena hukum di sini cukup ketat. Dan suara senjata api dapat membangunkan banyak orang, sehingga tidak banyak orang paham cara mengatasinya. Aku sendiri tahu, karena pernah berencana membelinya untuk berjaga-jaga jika aku perlu untuk pertahanan diri. Namun, pada akhirnya aku merasa tidak cocok.

Aku bergeser beberapa langkah ke arah pintu, perlahan agar maling itu tidak mengetahui kehadiranku. Akan lebih baik kalau aku bisa mengikutinya dan tahu di mana markasnya. Atau setidaknya, sampai dia meletakkan pelontar kecil bajingan yang menyeramkan itu.

Tiba-tiba aku mendengar suara kecil. Seperti suara angin yang menerpa tirai kain dengan perlahan. Kemudian disusul suara benda tajam yang menukik di udara. Sial maling ini tidak sendiri. Lebih sialnya, ketika aku sadar golok itu sudah menggores punggungku cukup dalam. Dan seketika punggungku terasa panas. Darah mengucur cepat, tidak butuh waktu lama badanku lemas dan terasa dingin. Aku lihat mereka terburu-buru kemudian pergi setelah mengambil semuanya. Kemudian semuanya gelap.

..................................................................................................................................................

Singkat saja hidup ini. Baru tadi Joko, sahabat minumku. Mengajakku berpesta untuk terkahir kalinya. Ku bilang nanti aku susul, karena ada yang harus ku kerjakan. Namun, siapa sangka, aku melihat mayatnya malam ini. Tergeletak dengan mata terkaget. Lihat hantu mungkin dia. Tapi yang jelas, Si Maling Maut akhirnya mati juga. Di tangan maling yang lain. Memang, maling yang hebat akan tumpul pula jika tidak lagi beraksi.

Maling Maut selalu yang terhebat dalam aksinya. Senyap dalam senyap dan cepat memangsa ketidaktahuan. Namun naas, Joko pada akhirnya menyerahkan diri pada ketakutannya untuk hidup sebagai maling seutuhnya seperti Maling Maut yang lain. Ketakutan yang menelan keahlian yang ku berikan, Sang Penulis.

            Jadi ku kemas ranselku saat pagi masih begitu gelap, kemudian pamit pada Nyak Imah yang sudah berbaik hati menampungku. Dia bilang turut berduka atas kematian Joko yang menjadi kawan baikku selama ini. Ay ya ya, wanita tua yang baik.

“Tapi nak, kamu mau ke mana? Nenek bakal sendirian kalau kamu pergi. Lagipula bukankah kamu bilang, kamu sudah tidak punya keluarga? Tidak ada tempat untuk pulang. Kenapa kamu pamit untuk pulang, ada apa?” tanya Nyak Imah.

Aku menghela napas, tersenyum ku menjawab singkat,

“Rumahku adalah tempat bersama Maling Maut Nyak, saatnya cari ganti.” Kemudian aku pergi tinggalkan Nyak Imah, menembus kabut, mencari maling-maling handal yang berikutnya.-


Bantul, 2020-2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puan Yang Ingin Merangkul Rembulan.

 Aku berlari menuju hujan Yang merintik dalam doa, Dan keinginan seorang puan untuk merangkul rembulan. Jalanan ini tak pernah sepi Kota yang terus berkilat Tanpa kenal kata mati, Memikat kedua matamu untuk terus berharap Menarik mu 'tuk selalu memohon di balik malam gelap. Aku tak pernah mengerti Kesederhanaan dalam batin itu Yang bergejolak menginginkan, Yang hanya sampai pada rasa sedih Dan putus asa. Aku hanya mengerti Bahwa jarak bukan tentang kereta Yang melesat jauh ke Jakarta, Namun tentang kau yang menatapnya Jauh di sana,  Sementara aku terjebak mengejar rintik yang menetes dalam doa. 5 Januari 2025

Dim Light

I'll let my heart sing your name,  even if you were far away when our eyes met.  I burn myself in a hellish love with a joyous heart,  for a fleeting happiness that vanishes as quickly as it ignites in this terrible world. That I'd burn for honest, and dim the dark with briefs lifeline.- Bantul, January 1st, 2025.