Malam tidak pernah mengikari janji. Selalu datang
ketika mentari terbenam, menyenangkan karena kepastiannya. Jauh dari manusia
yang sulit dimengerti, tidak tertebak, dan banyak maunya. Sepertiku, maling
terkenal tidak kenal ampun. ‘Maling Maut.’ Begitu Romi pemabuk kampung sebelah menjuluki
aku. Ngawur memang itu orang. Karena aku beraksi sendirian dan tidak pernah
tertangkap. “Bak Maut yang pasti datang tanpa ada yang tahu, barang pasti
hilang dalam tanganmu!” begitu pernyataannya penuh rasa bangga. Romi adalah
satu-satunya orang yang tahu profesiku ini, pun bukan karena aku berbagi
rahasia dengannya. Hanya kebetulan dia memergoki aku sedang menggenggam kalung
emas milik Cik Siska, perempuan kaya tukang pamer dari RT sebelah.
Sore itu, aku mengayuh sepeda untuk pulang dari
taman kota. Di saat senggangku dari profesi, teman-teman dan warga di kampung
tempat tinggalku hanya tahu kalau aku seorang pelukis. Aku memang sangat suka
melukis, di manapun dan kapanpun. Dan sore itu aku berhasil melukis salah satu
gedung yang baru selesai dibangun. Pak Sukris tetanggaku, memintaku
menggambarnya beberapa waktu lalu, dia bilang dia selalu menyukai gambarku,
meskipun secara khusus tidak pernah ada yang memuji keindahan gambar buatanku
dan maksud-maksud dibaliknya. Kebanyakan hanya sebatas membutuhkan sesorang
yang cukup pandai menggambar untuk nilai pelajaran sekolah anaknya, atau
menggambar sketsa-sketsa tertentu. Jadi aku kira pujian mereka hanya sebatas
untuk melegakan pilihan mereka untuk meminta bantuanku. Namun, Pak Sukris
berbeda. Dia rajin melihat dan menanyakan gambar-gambarku. Termasuk meminta
pendapatku tentang beberapa karya lukis atau gambar lain. Sampai di hari ini,
kebetulan aku sedang senggang dan tidak ada kerjaan ketika beliau memintaku
menggambar gedung baru itu.
Selesai aku antar, Pak Sukris berterimakasih dan
memberikanku amplop besar berisi kertas cek. Aku terbelalak dengan jumlahnya
yang begitu besar. Bahkan bisa dibilang terlalu besar untuk seorang pelukis
yang hanya melukis untuk hobi. Jumlah sebesar itu bisa membuatku berpesta
beberapa hari, bahkan tidak maling selama beberapa minggu. Ah ya sudah. Kurasa
dia memang orang kaya. Aku ingat dia mengganti mobilnya tiap beberapa bulan
sekali, jadi aku rasa dia memang punya uang. Bisa jadi, aku akan target rumah
itu suatu saat nanti. Maka, aku memutuskan untuk tidak banyak bertanya.
Beberapa kali setelah itu Pak Sukris selalu
memintaku menggambar gedung-gedung besar yang berada di tengah kota. Dan dia
selalu minta aku untuk menggambarnya dengan detil. Sampai ke coretan-coretan
kecil. Bahkan termasuk siapa saja yang selalu ada di sana, seperti karyawan,
pelayan, pengunjung, atau sekedar pengamen yang sering mampir melewatinya.
“Cih, kalau begini kenapa ndak difoto saja.” keluhku pada Romi.
“Yah kamu ndak
tahu kan, niatnya apa. Toh kamu dapat, buat traktir aku minum pula.” Kemudian
dia tertawa terbahak sambil bercerita soal kisah cintanya pada Nyoman, si bunga
desa. Meskipun semua orang tahu bahwa kisah cinta itu hanya kisah yang bertepuk
sebelah tangan. Romi si pemuda mabuk jatuh hati pada Nyoman yang notabene Putri
Bupati kota sebelah. Pasti anak ini sudah gila. Kerja saja serabutan, kok bisa-bisanya mengejar perempuan yang
pakaiannya seharga pendapatannya sebulan.
Hari-hariku setelahnya jadi terasa menyenangkan. Aku
tidak perlu maling lagi dan hidupku bercukupan. Aku tidak perlu mempertaruhkan
nyawaku hanya sekedar untuk membeli rokok atau sebotol anggur, bahkan aku
sekarang punya tabungan. Mungkin nanti bisa untuk membeli rumah baru dan
kemudian memulai usaha kecil-kecilan. Aku tidak akan perlu untuk maling lagi,
karena sebelum nyala batang terakhir dari bungkus rokok ku, aku sudah beli dua
bungkus lagi. Hanya perlu melukis selama beberapa hari, kemudian dapat uang
untuk sebulan. Selalu seperti itu. Tentunya hanya sampai beberapa waktu lalu.
“Ini sepertinya terakhir kali aku akan memberimu.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Sial, Pak Sukris tidak lagi bisa jadi sumber penghasilanku.
Dia akan pindah beberapa hari lagi, ke kota yang sangat jauh dari sini. Yah,
pindahnya dia itu tidak penting, karena yang jadi persoalan adalah dia
merupakan satu-satunya pemasukanku selama setahun ini. Untungnya aku sudah
punya tabungan, jadi setidaknya bisa untuk berbuat sesuatu untuk mempertahankan
hidup. Tidak perlu aku maling lagi.
Pikirku begitu, sampai beberapa menit lalu. Ketika
sosok berpakaian hitam ini masuk ke rumahku. Dan aku pergoki sedang
mengacak-acak lemari simpanan ketika aku sedang keluar membeli anggur untuk pesta
dengan Romi. Naluriku menjerit. Aku melihatnya membawa pistol yang disarungkan
dengan wadah kulit dipinggangnya. Orang ini berbahaya. Pistol sangat sulit
didapatkan karena hukum di sini cukup ketat. Dan suara senjata api dapat
membangunkan banyak orang, sehingga tidak banyak orang paham cara mengatasinya.
Aku sendiri tahu, karena pernah berencana membelinya untuk berjaga-jaga jika
aku perlu untuk pertahanan diri. Namun, pada akhirnya aku merasa tidak cocok.
Aku bergeser beberapa langkah ke arah pintu,
perlahan agar maling itu tidak mengetahui kehadiranku. Akan lebih baik kalau
aku bisa mengikutinya dan tahu di mana markasnya. Atau setidaknya, sampai dia
meletakkan pelontar kecil bajingan yang menyeramkan itu.
Tiba-tiba aku mendengar suara kecil. Seperti suara
angin yang menerpa tirai kain dengan perlahan. Kemudian disusul suara benda
tajam yang menukik di udara. Sial maling ini tidak sendiri. Lebih sialnya,
ketika aku sadar golok itu sudah menggores punggungku cukup dalam. Dan seketika
punggungku terasa panas. Darah mengucur cepat, tidak butuh waktu lama badanku
lemas dan terasa dingin. Aku lihat mereka terburu-buru kemudian pergi setelah
mengambil semuanya. Kemudian semuanya gelap.
..................................................................................................................................................
Singkat saja hidup ini. Baru tadi Joko, sahabat
minumku. Mengajakku berpesta untuk terkahir kalinya. Ku bilang nanti aku susul,
karena ada yang harus ku kerjakan. Namun, siapa sangka, aku melihat mayatnya
malam ini. Tergeletak dengan mata terkaget. Lihat hantu mungkin dia. Tapi yang
jelas, Si Maling Maut akhirnya mati juga. Di tangan maling yang lain. Memang,
maling yang hebat akan tumpul pula jika tidak lagi beraksi.
Maling Maut selalu yang terhebat dalam aksinya.
Senyap dalam senyap dan cepat memangsa ketidaktahuan. Namun naas, Joko pada
akhirnya menyerahkan diri pada ketakutannya untuk hidup sebagai maling seutuhnya
seperti Maling Maut yang lain. Ketakutan yang menelan keahlian yang ku berikan,
Sang Penulis.
Jadi
ku kemas ranselku saat pagi masih begitu gelap, kemudian pamit pada Nyak Imah
yang sudah berbaik hati menampungku. Dia bilang turut berduka atas kematian Joko
yang menjadi kawan baikku selama ini. Ay ya ya, wanita tua yang baik.
“Tapi nak, kamu mau ke mana? Nenek bakal sendirian
kalau kamu pergi. Lagipula bukankah kamu bilang, kamu sudah tidak punya
keluarga? Tidak ada tempat untuk pulang. Kenapa kamu pamit untuk pulang, ada
apa?” tanya Nyak Imah.
Aku menghela napas, tersenyum ku menjawab singkat,
“Rumahku adalah tempat bersama Maling Maut Nyak,
saatnya cari ganti.” Kemudian aku pergi tinggalkan Nyak Imah, menembus kabut,
mencari maling-maling handal yang berikutnya.-
Bantul, 2020-2021
Komentar
Posting Komentar