Langsung ke konten utama

Penyakit “AKU TAHU! AKU TAHU!!” (CERPEN)

 

Sudah beberapa tahun semenjak pandemi berlangsung dan hari-hari semakin suram. Jalanan begitu sepi dan bangunan nampak kosong. Manusia berlomba-lomba mengungsi menjauhi satu sama lain, menjaga jarak sedemikian jauh agar tidak dapat saling mendengar lagi saling berbicara. Semua ini gara-gara penyakit ‘aku tahu.’

Penyakit yang muncul di daerah perkotaan beberapa tahun lalu, melalui beberapa pemuda-orang tua dan menyebar pada setiap manusia yang sanggup berpikir, mendengar, dan berbicara layaknya tetesan air hujan yang menabrak tanah – tidak nampak namun pasti pecah. Dan dalam hitungan hari penduduk satu kota sudah tertular. Beberapa bulan kemudian negeri ini sudah didominasi oleh orang yang berteriak “AKU TAHU! AKU TAHU!!” sambil berlari ke sana kemari, mencari korban baru untuk mendengarkan ocehannya.

Meski penyakit ini diketahui datang darimana, tidak satupun orang yang mengerti atau setidaknya mengetahui bagaimana penyakit ini muncul. Ia begitu ganas, menular melalui kata-kata yang didengar oleh orang lain. Beberapa orang selamat yang mengatakan bahwa mereka sanggup bertahan dengan menutup telinga. Namun entah, tidak ada yang tahu karena sampai saat ini tidak ada yang sanggup menyembuhkan atau mencari solusi untuk menghentikan penularannya saat berkontak langsung.

Sudah empat tahun penyakit ini menyebar dan mengahntui setiap manusia. Dan setiap orang begitu sibuk untuk menjauhi satu sama lain. Tidak bicara kecuali ia yakin bahwa orang itu tidak tertular. Sampai saat ini, hanya diketahui satu cara untuk membedkan yang tertular dan yang bukan. Yaitu mereka yang tuli – karena penyakit ini menular melalui ucapan, orang bisu tidak akan tertular. Dan mereka yang bisu – orang bisu tidak sanggup bicara, sehingga tidak bisa menularkan. Sementara bayi tidak dapat tertular, entah karena apa namun sampai sekarang tidak ada kasus di mana bayi yang tumbuh terjangkit oleh penyakit yang bahkan menyerang anak berumur tiga tahun.

Orang bicara satu sama lain melalui bahasa isyarat, bertahan hidup dengan tidak mendengarkan satu sama lain atau mencoba bicara satu sama lain. Bayi-bayi yang lahir diajarkan untuk tidak bicara dengan mulut mereka dan dicegah untuk tidak menangis terlalu sering. Berita disebarkan melalui tulisan dan kode-kode melalui gambar dan lukisan. Kota begitu hening dan miskin akan suara manusia, kecuali mereka yang berteriak “AKU TAHU! AKU TAHU!!” ke sana kemari mencari mangsa untuk masuk dalam kawanan tanpa pikiran yang menghabiskan sisa hidupnya untuk berteriak dan terus berteriak. Dan manusia sekarang hidup dalam rasa takut akan penyakit yang berbahaya.

Sama halnya dengan berkomunikasi, manusia hidup dengan usaha yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Kekacauan yang terjadi karena pandemi itu membuat banyak pabrik, sawah, dan usaha-usaha bahan pokok terhenti dan bahan makanan yang disimpan oleh pemerintah di beberapa titik tidak dapat diakses karena dipenuhi oleh teriakan “AKU TAHU! AKU TAHU!!” memaksa masyarakat untuk mencari makan dengan cara yang lebih sederhana seperti menanam umbi atau berburu – entah itu ikan, burung, atau bahkan tikus untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Bersembunyi dan bertahan hidup, itu mau mereka yang takut untuk bertindak dan itu tidak berlaku untukku. Berbekal senapan laras panjang aku berjalan dari gang ke gang, kampung ke kampung, lalu kota ke kota untuk melacak dan mengambil makanan yang masih tersisa di beberapa tempat. Memburu makanan di berbagai tempat dan ‘membersihkan’ jalanan dari mereka yang terjangkit ‘aku tahu.’

Sebagai seseorang yang tuli sepertiku, penyakit itu tidak menyulitkan. Dalam pandanganku mereka hanya manusia yang berlalu lalang dan menghampiri manusia lain sambil meneriakkan sesuatu. Yang menyebalkan adalah mereka tidak hanya berteriak dan berlari namun juga menampar, memukul, atau mencengkeram mangsanya sampai tidak berdaya sambil meneriakkan ocehan-ocehan dan selalu disela dengan kata-kata yang sama. Pada akhirnya mereka yang tidak tertular akan mati karena dipaksa mendengar terus menerus tanpa henti.

Pernah dahulu aku menemui beberapa orang yang tertular dan mereka sama saja dengan orang gila yang melakukan kekerasan sambil berteriak. Tidak hanya berteriak “AKU TAHU! AKU TAHU!!” namun juga mengucapkan berbagai hal lain yang entah apa yang mahluk itu katakan. Aku tidak tahu, aku tidak terlalu yakin karena aku tidak bisa mendengar sejak remaja karena penyakit yang kuderita.  Namun, ketika kawanku Nata, yang bisu sejak lahir memberi tahukan bahwa ia mengalami hal yang sama dengan yang kulihat sekarang aku yakin.

Aku dan Nata sama-sama menjadi pemburu makanan. Kami bertemu beberapa waktu lalu ketika Nata hampir saja terbunuh karena kelaparan. Nata menjadi korban dari yang manusia yang terjangkit. Ia diikat pada sebuah tiang lampu jalan dan dipaksa untuk mendengarkan ocehan-ocehan mahluk-mahluk yang tiada ampun itu. Aku menyelamatkan Nata dengan membunuh mahluk di sekitarnya dengan senapan yang ku dapat dari kantor-kantor kepolisian yang ditinggalkan. Sejak saat itu kami berteman dan Nata selalu membantuku dengan memberi tahu ketika ada manusia yang tertular. Seperti radar.

Kemarin persediaan makanan yang ku simpan hampir habis dan kami memutuskan untuk kembali berburu. Beberapa orang yang selamat memberiku peta tempat-tempat yang memungkinkan untuk terdapat makanan dan sebagai imbalannya kami akan memberi mereka sebagian makanan yang kami dapat. Peta seperti itu begitu berharga karena memudahkan untuk membuat rute yang bisa menghindari kerumunan manusia yang terjangkit. Meskipun seringkali pembagian makanan yang terjadi tidak sesuai dengan kemauanku. Namun itu jauh lebih baik daripada membuang-buang peluru dan tenaga untuk menghadapi mahluk-mahluk di sana.

Maka, tadi pagi kami berangkat ke kota tua. Tujuan kami adalah bekas supermarket besar yang berada di daerah pinggiran, wilayah sub-urban yang tidak sepadat kota. Perjalanan ini hanya berjarak 12 kilometer, namun karena harus memutar dan menghindari bekas wilayah perumahan jaraknya menjadi sedikit lebih jauh. Sekitar 15 atau 20an kilometer, aku tidak yakin. Pun tidak terlalu peduli.

Di sepanjang jalan kami disambut oleh beberapa mahluk yang melihat kami. Langsung ku bereskan dalam beberapa detik, karena badan mereka yang kurus dan lemah karena tidak makan dan tidur. Hal aneh yang menonjol adalah meskipun badan mereka kurus kering hanya bersisa tulang dan kulit, mereka tidak pernah mati karenanya. Mata mereka penuh semangat dan mulut mereka selalu bergerak. Menyedihkan.

Setelah melewati beberapa kerumunan dan membunuh mereka. Kami sampai di supermarket itu. Di sana kami beristirahat untuk makan makanan yang ada, kemudian berpisah dan mengumpulkan makanan sebanyak yang kami bisa. Dua orang dengan dua karung yang bisa dipenuhi makanan untuk satu minggu. Memang tidak banyak, namun dengan berburu beberapa hari berturut-turut kami bisa beristirahat dan bersantai lebih lama. Lagipula penyakit itu tidak mempan pada kami, terutama aku yang tidak bisa mendengar.

Tasku yang penuh ku bawa ke tengah supermarket, tempat kami berpisah. Semua baik-baik saja sejauh ini, tempat ini begitu kosong dan tidak ada tanda-tanda dari mahluk-mahluk itu. Hanya suara-suara yang terdengar lirih dari kejauhan. Aku heran, kenapa bisa ada suara sementara aku tidak melihat apa pun. Suara itu seperti nyanyian, nyanyian yang sangat bagus. Aku tahu karena aku pernah mendengarnya dulu saat aku masih bisa mendengar.

Nata menepuk pundakku. Aku berbalik dan mendengar dia berkata bahwa dia telah selesai. Lalu aku mengucap aku tahu. Nata terlihat heran, lalu dia terdiam sesaat seperti ragu akan jawabanku. Aku mengulangi kata-kataku. Aku mengatakan bahwa aku tahu dia sudah selesai. Namun dia justru nampak semakin ragu. Jadi aku ulangi kata-kata itu dengan lebih keras. Aku terus mengulanginya bahwa aku tahu dia sudah selesai. Aku ingin menyakinkan dia bahwa aku benar-benar tahu dia sudah siap untuk pulang. Aku terus mengucapkan kata-kata itu, bahwa aku tahu.

Nata kemudian tersentak. Aku melihatnya menangis, lalu tatapannya keraguannya hilang dan berubah menjadi rasa kasihan. Sepertinya dia tidak paham maksudku. Jadi aku mencoba memberi tahunya dengan berbagai cara, aku menucapkannya dengan perlahan atau memberinya contoh-contoh yang dapat dia pahami. Namun tatapannya semakin menunjukkan bahwa dia tidak paham. Dan bagiku dia harus paham, agar kita segera berangkat pulang dan beristirahat. Karena itu kupukul dia sampai jatuh, lalu ku paksa dia mendengarkan penjelasanku bahwa aku tahu apa yang dia maksud.

Lalu aku mendengar tangisan. Nata menangis. Kawanku yang menemaniku selama 7  bulan ini menangis di depanku. Ini pertama kalinya dia menangis begitu sedih. Suaranya begitu menyakitkan dan kudengar dia mengucapkan kata yang menusuk dihatiku. Dia bilang bahwa dia tahu. Ini pertama kalinya aku mendengar Nata bicara setelah beberapa bulan mengenalnya. Dan karena itu, aku menembakkan senapanku ke arah kepalanya. Mengakhiri hidupnya dalam hitungan detik.

Aku tahu hidup ini melelahkan, begitu juga dengan kejadian ini. Aku tahu. Sekarang aku mampu mendengar dan aku benar-benar tahu. Aku tahu banyak hal dan aku tahu bahwa membunuh teman itu menyakitkan, penyakit ini juga menyiksa. Aku tahu. Dan aku begitu ingin semua orang tahu akan hal ini. Tapi aku begitu benci dengan diriku. Aku berteriak keras bahwa “AKU TAHU! AKU TAHU!!” lalu kutembakkan senapanku pada daguku. Karena aku tidak ingin tahu lebih banyak.


Bantul, 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puan Yang Ingin Merangkul Rembulan.

 Aku berlari menuju hujan Yang merintik dalam doa, Dan keinginan seorang puan untuk merangkul rembulan. Jalanan ini tak pernah sepi Kota yang terus berkilat Tanpa kenal kata mati, Memikat kedua matamu untuk terus berharap Menarik mu 'tuk selalu memohon di balik malam gelap. Aku tak pernah mengerti Kesederhanaan dalam batin itu Yang bergejolak menginginkan, Yang hanya sampai pada rasa sedih Dan putus asa. Aku hanya mengerti Bahwa jarak bukan tentang kereta Yang melesat jauh ke Jakarta, Namun tentang kau yang menatapnya Jauh di sana,  Sementara aku terjebak mengejar rintik yang menetes dalam doa. 5 Januari 2025

Dim Light

I'll let my heart sing your name,  even if you were far away when our eyes met.  I burn myself in a hellish love with a joyous heart,  for a fleeting happiness that vanishes as quickly as it ignites in this terrible world. That I'd burn for honest, and dim the dark with briefs lifeline.- Bantul, January 1st, 2025.

Maling Maut (CERPEN)

  Malam tidak pernah mengikari janji. Selalu datang ketika mentari terbenam, menyenangkan karena kepastiannya. Jauh dari manusia yang sulit dimengerti, tidak tertebak, dan banyak maunya. Sepertiku, maling terkenal tidak kenal ampun. ‘Maling Maut.’ Begitu Romi pemabuk kampung sebelah menjuluki aku. Ngawur memang itu orang. Karena aku beraksi sendirian dan tidak pernah tertangkap. “Bak Maut yang pasti datang tanpa ada yang tahu, barang pasti hilang dalam tanganmu!” begitu pernyataannya penuh rasa bangga. Romi adalah satu-satunya orang yang tahu profesiku ini, pun bukan karena aku berbagi rahasia dengannya. Hanya kebetulan dia memergoki aku sedang menggenggam kalung emas milik Cik Siska, perempuan kaya tukang pamer dari RT sebelah. Sore itu, aku mengayuh sepeda untuk pulang dari taman kota. Di saat senggangku dari profesi, teman-teman dan warga di kampung tempat tinggalku hanya tahu kalau aku seorang pelukis. Aku memang sangat suka melukis, di manapun dan kapanpun. Dan sore itu aku ...