Sudah beberapa tahun semenjak pandemi
berlangsung dan hari-hari semakin suram. Jalanan begitu sepi dan bangunan
nampak kosong. Manusia berlomba-lomba mengungsi menjauhi satu sama lain,
menjaga jarak sedemikian jauh agar tidak dapat saling mendengar lagi saling
berbicara. Semua ini gara-gara penyakit ‘aku tahu.’
Penyakit yang muncul di daerah perkotaan beberapa
tahun lalu, melalui beberapa pemuda-orang tua dan menyebar pada setiap manusia
yang sanggup berpikir, mendengar, dan berbicara layaknya tetesan air hujan yang
menabrak tanah – tidak nampak namun pasti pecah. Dan dalam hitungan hari
penduduk satu kota sudah tertular. Beberapa bulan kemudian negeri ini sudah didominasi
oleh orang yang berteriak “AKU TAHU! AKU TAHU!!” sambil berlari ke sana kemari,
mencari korban baru untuk mendengarkan ocehannya.
Meski penyakit ini diketahui datang darimana, tidak
satupun orang yang mengerti atau setidaknya mengetahui bagaimana penyakit ini
muncul. Ia begitu ganas, menular melalui kata-kata yang didengar oleh orang
lain. Beberapa orang selamat yang mengatakan bahwa mereka sanggup bertahan
dengan menutup telinga. Namun entah, tidak ada yang tahu karena sampai saat ini
tidak ada yang sanggup menyembuhkan atau mencari solusi untuk menghentikan
penularannya saat berkontak langsung.
Sudah empat tahun penyakit ini menyebar dan
mengahntui setiap manusia. Dan setiap orang begitu sibuk untuk menjauhi satu
sama lain. Tidak bicara kecuali ia yakin bahwa orang itu tidak tertular. Sampai
saat ini, hanya diketahui satu cara untuk membedkan yang tertular dan yang
bukan. Yaitu mereka yang tuli – karena penyakit ini menular melalui ucapan,
orang bisu tidak akan tertular. Dan mereka yang bisu – orang bisu tidak sanggup
bicara, sehingga tidak bisa menularkan. Sementara bayi tidak dapat tertular,
entah karena apa namun sampai sekarang tidak ada kasus di mana bayi yang tumbuh
terjangkit oleh penyakit yang bahkan menyerang anak berumur tiga tahun.
Orang bicara satu sama lain melalui bahasa isyarat,
bertahan hidup dengan tidak mendengarkan satu sama lain atau mencoba bicara
satu sama lain. Bayi-bayi yang lahir diajarkan untuk tidak bicara dengan mulut
mereka dan dicegah untuk tidak menangis terlalu sering. Berita disebarkan
melalui tulisan dan kode-kode melalui gambar dan lukisan. Kota begitu hening
dan miskin akan suara manusia, kecuali mereka yang berteriak “AKU TAHU! AKU
TAHU!!” ke sana kemari mencari mangsa untuk masuk dalam kawanan tanpa pikiran
yang menghabiskan sisa hidupnya untuk berteriak dan terus berteriak. Dan
manusia sekarang hidup dalam rasa takut akan penyakit yang berbahaya.
Sama halnya dengan berkomunikasi, manusia hidup
dengan usaha yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Kekacauan yang terjadi
karena pandemi itu membuat banyak pabrik, sawah, dan usaha-usaha bahan pokok
terhenti dan bahan makanan yang disimpan oleh pemerintah di beberapa titik
tidak dapat diakses karena dipenuhi oleh teriakan “AKU TAHU! AKU TAHU!!”
memaksa masyarakat untuk mencari makan dengan cara yang lebih sederhana seperti
menanam umbi atau berburu – entah itu ikan, burung, atau bahkan tikus untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
Bersembunyi dan bertahan hidup, itu mau mereka yang
takut untuk bertindak dan itu tidak berlaku untukku. Berbekal senapan laras
panjang aku berjalan dari gang ke gang, kampung ke kampung, lalu kota ke kota
untuk melacak dan mengambil makanan yang masih tersisa di beberapa tempat.
Memburu makanan di berbagai tempat dan ‘membersihkan’ jalanan dari mereka yang
terjangkit ‘aku tahu.’
Sebagai seseorang yang tuli sepertiku, penyakit itu
tidak menyulitkan. Dalam pandanganku mereka hanya manusia yang berlalu lalang
dan menghampiri manusia lain sambil meneriakkan sesuatu. Yang menyebalkan
adalah mereka tidak hanya berteriak dan berlari namun juga menampar, memukul, atau
mencengkeram mangsanya sampai tidak berdaya sambil meneriakkan ocehan-ocehan
dan selalu disela dengan kata-kata yang sama. Pada akhirnya mereka yang tidak
tertular akan mati karena dipaksa mendengar terus menerus tanpa henti.
Pernah dahulu aku menemui beberapa orang yang
tertular dan mereka sama saja dengan orang gila yang melakukan kekerasan sambil
berteriak. Tidak hanya berteriak “AKU TAHU! AKU TAHU!!” namun juga mengucapkan
berbagai hal lain yang entah apa yang mahluk itu katakan. Aku tidak tahu, aku
tidak terlalu yakin karena aku tidak bisa mendengar sejak remaja karena
penyakit yang kuderita. Namun, ketika
kawanku Nata, yang bisu sejak lahir memberi tahukan bahwa ia mengalami hal yang
sama dengan yang kulihat sekarang aku yakin.
Aku dan Nata sama-sama menjadi pemburu makanan. Kami
bertemu beberapa waktu lalu ketika Nata hampir saja terbunuh karena kelaparan.
Nata menjadi korban dari yang manusia yang terjangkit. Ia diikat pada sebuah
tiang lampu jalan dan dipaksa untuk mendengarkan ocehan-ocehan mahluk-mahluk
yang tiada ampun itu. Aku menyelamatkan Nata dengan membunuh mahluk di sekitarnya
dengan senapan yang ku dapat dari kantor-kantor kepolisian yang ditinggalkan.
Sejak saat itu kami berteman dan Nata selalu membantuku dengan memberi tahu
ketika ada manusia yang tertular. Seperti radar.
Kemarin persediaan makanan yang ku simpan hampir
habis dan kami memutuskan untuk kembali berburu. Beberapa orang yang selamat
memberiku peta tempat-tempat yang memungkinkan untuk terdapat makanan dan
sebagai imbalannya kami akan memberi mereka sebagian makanan yang kami dapat.
Peta seperti itu begitu berharga karena memudahkan untuk membuat rute yang bisa
menghindari kerumunan manusia yang terjangkit. Meskipun seringkali pembagian
makanan yang terjadi tidak sesuai dengan kemauanku. Namun itu jauh lebih baik
daripada membuang-buang peluru dan tenaga untuk menghadapi mahluk-mahluk di
sana.
Maka, tadi pagi kami berangkat ke kota tua. Tujuan
kami adalah bekas supermarket besar yang berada di daerah pinggiran, wilayah sub-urban
yang tidak sepadat kota. Perjalanan ini hanya berjarak 12 kilometer, namun
karena harus memutar dan menghindari bekas wilayah perumahan jaraknya menjadi
sedikit lebih jauh. Sekitar 15 atau 20an kilometer, aku tidak yakin. Pun tidak
terlalu peduli.
Di sepanjang jalan kami disambut oleh beberapa
mahluk yang melihat kami. Langsung ku bereskan dalam beberapa detik, karena
badan mereka yang kurus dan lemah karena tidak makan dan tidur. Hal aneh yang
menonjol adalah meskipun badan mereka kurus kering hanya bersisa tulang dan
kulit, mereka tidak pernah mati karenanya. Mata mereka penuh semangat dan mulut
mereka selalu bergerak. Menyedihkan.
Setelah melewati beberapa kerumunan dan membunuh
mereka. Kami sampai di supermarket itu. Di sana kami beristirahat untuk makan
makanan yang ada, kemudian berpisah dan mengumpulkan makanan sebanyak yang kami
bisa. Dua orang dengan dua karung yang bisa dipenuhi makanan untuk satu minggu.
Memang tidak banyak, namun dengan berburu beberapa hari berturut-turut kami
bisa beristirahat dan bersantai lebih lama. Lagipula penyakit itu tidak mempan
pada kami, terutama aku yang tidak bisa mendengar.
Tasku yang penuh ku bawa ke tengah supermarket,
tempat kami berpisah. Semua baik-baik saja sejauh ini, tempat ini begitu kosong
dan tidak ada tanda-tanda dari mahluk-mahluk itu. Hanya suara-suara yang
terdengar lirih dari kejauhan. Aku heran, kenapa bisa ada suara sementara aku
tidak melihat apa pun. Suara itu seperti nyanyian, nyanyian yang sangat bagus.
Aku tahu karena aku pernah mendengarnya dulu saat aku masih bisa mendengar.
Nata menepuk pundakku. Aku berbalik dan mendengar
dia berkata bahwa dia telah selesai. Lalu aku mengucap aku tahu. Nata terlihat
heran, lalu dia terdiam sesaat seperti ragu akan jawabanku. Aku mengulangi
kata-kataku. Aku mengatakan bahwa aku tahu dia sudah selesai. Namun dia justru
nampak semakin ragu. Jadi aku ulangi kata-kata itu dengan lebih keras. Aku
terus mengulanginya bahwa aku tahu dia sudah selesai. Aku ingin menyakinkan dia
bahwa aku benar-benar tahu dia sudah siap untuk pulang. Aku terus mengucapkan
kata-kata itu, bahwa aku tahu.
Nata kemudian tersentak. Aku melihatnya menangis,
lalu tatapannya keraguannya hilang dan berubah menjadi rasa kasihan. Sepertinya
dia tidak paham maksudku. Jadi aku mencoba memberi tahunya dengan berbagai
cara, aku menucapkannya dengan perlahan atau memberinya contoh-contoh yang
dapat dia pahami. Namun tatapannya semakin menunjukkan bahwa dia tidak paham.
Dan bagiku dia harus paham, agar kita segera berangkat pulang dan beristirahat.
Karena itu kupukul dia sampai jatuh, lalu ku paksa dia mendengarkan
penjelasanku bahwa aku tahu apa yang dia maksud.
Lalu aku mendengar tangisan. Nata menangis. Kawanku
yang menemaniku selama 7 bulan ini
menangis di depanku. Ini pertama kalinya dia menangis begitu sedih. Suaranya
begitu menyakitkan dan kudengar dia mengucapkan kata yang menusuk dihatiku. Dia
bilang bahwa dia tahu. Ini pertama kalinya aku mendengar Nata bicara setelah
beberapa bulan mengenalnya. Dan karena itu, aku menembakkan senapanku ke arah
kepalanya. Mengakhiri hidupnya dalam hitungan detik.
Aku tahu hidup ini melelahkan, begitu juga dengan
kejadian ini. Aku tahu. Sekarang aku mampu mendengar dan aku benar-benar tahu.
Aku tahu banyak hal dan aku tahu bahwa membunuh teman itu menyakitkan, penyakit
ini juga menyiksa. Aku tahu. Dan aku begitu ingin semua orang tahu akan hal
ini. Tapi aku begitu benci dengan diriku. Aku berteriak keras bahwa “AKU TAHU!
AKU TAHU!!” lalu kutembakkan senapanku pada daguku. Karena aku tidak ingin tahu
lebih banyak.
Bantul, 2020
Komentar
Posting Komentar