Langsung ke konten utama

Lampu Kuning (CERPEN)

 

Sudah empat menit aku menunggu ajal yang duduk hanya beberapa langkah dari tempatku berbaring. Seorang pemuda, yang lebih kurangnya akan membunuhku, duduk dengan sikap yang ringan di kursi tempatku biasa menatap matahari terbenam dari kamar ini. Ia memiliki pistol tangan yang entah model apa tergenggam erat di tangannya. Dan meskipun mataku telah kabur sejak lama, aku mampu melihat matanya yang begitu kelabu namun tegas dan tanpa ragu mampu merebut nyawa siapa pun, termasuk putranya sendiri.

Sudah sekitar empat tahun aku sakit-sakitan. Kata dokter, paru-paruku mengalami radang yang sangat berat dan terus meluas seiring dengan kondisi tubuhku yang semakin menua. Dan mulai beberapa hari lalu, sesak napas bukan lagi teman satu-satunya di rumah kosong ini. Kelumpuhan kaki telah menjadi teman baru yang tidak begitu menyenangkan. Dan berikutnya, aku hanya tinggal menunggu kematian yang akan datang beberapa saat lagi. Tidak seperti orang lain yang tidak menunggunya, aku rasa mempercepat kedatangannya, jika bisa, merupakan hal yang pasti aku akan usahakan. Namun Tuhan begitu tidak adil, Ia melarang mahluknya untuk mempercepat akhir cerita yang Ia tulis meskipun cerita itu begitu membosankan atau begitu memuakkan untuk dijalani. Jadi, sebagai mahluk yang taat kepada Tuhan, aku akan menunggu kematian untuk menjemput. Dan sekarang kematian telah duduk di kursi kesayanganku dengan pistol tangan tergenggam.

Pemuda itu terlihat begitu menyedihkan dengan banyak luka di wajahnya. Badannya miring ke kiri dengan bahu yang lebih rendah pada satu sisi, begitu nampak di mata yang buram. Dan lampu remang di kamarku telah membuat sosoknya yang menggunakan pakaian serba hitam itu terlihat seperti malaikat maut buruk rupa dan miskin akan kasih Tuhan. Oh Tuhan, bukankah ini begitu tidak adil. Aku hidup cukup lama hanya untuk diselesaikan oleh mahluk buruk rupa? Andai aku masih mampu menulis, akan ku beri seluruh hartaku pada pemuda itu dibandingkan pada cucu-cucuku yang bahkan tidak mampu melihat baiknya kematian.

Lampu kamarku yang berwarna kekuningan itu mulai berkedip. BLAK. Angin tertiup dengan kencang ke dalam kamar sesudah membanting jendela kamarku. Cahaya bulan menerangi masuk dan berbaur dengan lampu kekuningan itu. Sementara tanganku begitu gemetar karena dingin udara malam yang kejam bagi tubuh tua renta yang tidak sanggup bernapas dengan baik. Pemuda itu memiringkan kepala, meletakkan pistolnya di meja. Lalu berjalan keluar kamarku dan kembali dengan sebuah selimut yang lebih tebal dan mulai melapisi selimut favoritku yang sudah using dan bau itu dengan selimut yang sepertinya dia ambil dari kamar sebelah. Sungguh malaikat maut yang baik hati.

“aku tidak tahu mengapa, tapi aku rasa mati sambil kedinginan adalah hal terakhir yang orang tua kesepian ingin lakukan bukan?” Suara pemuda itu begitu berat dan besar. Bukan suara yang merdu atau menakutkan, suara itu tidak lebih dari suara manusia normal yang tidak spesial. Namun suara itu tidak membuatku takut, mungkin karena aku sudah beberapa hari tidak bicara dengan orang lain.

Ia berjalan kembali ke tempat duduknya itu sambil menatap jendela yang terbuka. Kursi itu ada beberapa langkah dari kasur tempatku berbaring dan menghadap langsung ke jendela. Di hari-hari yang baik, siapa pun yang duduk di sana akan diberkati dengan pemandangan matahari terbit yang bagus di antara gedung-gedung besar di kota. Dan pabrik-pabrik yang mulai mengeluarkan asap juga pemandangan yang cukup bagus apabila tidak dinilai dari dampak buruknya. Kursi kayu tua itu merupakan tempat favoritku untuk merokok dan menghabiskan hari-hari biasa saja yang aku alami sejak aku berhenti menjadi pengusaha. Hari-hari pension tidak lebih biasa dibandingkan kehidupan sebagai pengusaha yang kejam. Banyak orang datang dan pergi dengan berbagai maksud, namun yang aku tahu, semuanya karena mereka berusaha bertahan dalam keinginannya.

Karena itu aku tidak takut dengan malaikat maut yang duduk di kursi favoritku itu. Aku sama sekali tidak takut dengan mahluk kiriman Tuhan yang membawa berita bahwa cerita membosankan ini akan segera berakhir, dan ucapan syukur merupakan satu-satunya yang pantas aku panjatkan.

Air mataku mulai menetes dan tanpa sadar aku mengeluarkan suara menangis tersedu-sedu yang begitu lemah. Aku berusaha melawan tubuhku untuk tidak melakukannya. Aku akan terlihat begitu menyedihkan dengan tubuh lemah sakit-sakitan ini. Dan membuatku terlihat menyedihkan hanya akan memberi kesempatan untukku dikasihani oleh pemuda itu. Namun, bak binatang buas, tubuhku melawan keinginanku ini. Aku menangis dengan hebatnya dan tersedu-sedu begitu keras dalam tubuhnya lemah. Aku mampu membayangkan tubuhku yang terlihat seperti mahluk sekarat jelek menyedihkan di depan pemuda itu. Sial, tolong jangan kasihani si tua yang ingin segera mati ini dan tembakkan saja pistol tangan itu tanpa ampun. Tuhan, jadilah cukup untuk menyampaikan mauku ini pada pembunuh itu. Jangan biarkan Ia dikuasai rasa kasihan yang tidak aku perlukan lagi. Tolong akhirilah hidupku yang begitu menyedihkan.

 

 

Beberapa hari lalu, aku mendapatkan pekerjaan yang tidak biasa setelah sekian lama. Seseorang telah memintaku untuk membunuh orang tuanya yang lama sakit-sakitan agar harta milik bapaknya itu segera diwariskan kepadanya. Membunuh bukanlah yang baru bagiku yang memang seorang pembunuh. Hidup di jaman di mana membunuh orang lain atas alasan apa pun dapat membawa kosekuensi yang rumit membuat pekerjaan semacam pembunuh dan perampok bayaran merupakan sesuatu yang telah menjadi rahasia umum. Dan sebagai pembunuh aku telah biasa merenggut nyawa orang, dan bukannya membunuh seorang bapak merupakan sesuatu yang baru dalam pekerjaanku. Namun, detail yang diberikan merupakan sesuatu yang aku kurang sukai sebagai pembunuh. Menceritakan siapa yang akan aku bunuh bagi orang yang akan membayarku membangkitkan beribu pertanyaan dan rasa kasihan di benak ini. Si anak tidak bermoral ini merupakan wujud dari eksistensi paling aku benci, Ia telah menambahkan sesuatu yang tidak penting dalam pekerjaanku, ibarat roti yang diberi merica dalam adonannya. Ia telah merusak adonan dalam pekerjaan ini dengan memberikan detail yang aku tidak perlu tahu dan beresiko membuatku merasa begitu bersalah dengan mengabulkan permintaan anak durhaka yang gila uang.

Kamar milik pak tua itu merupakan kamar yang kecil untuk pengusaha paling sukses di negara ini. Besarnya hanya 3 meter dan perabotannya begitu membosankan. Hanya ada meja, kursi, lemari pakaian, dan tempat tidur untuk satu orang tempat pak tua itu berbaring. Rumah tempatnya tinggal pun hanya berisi dua kamar dan ruang tamu dengan dapur dan kamar mandi. Rumah ini begitu remeh untuk seseorang yang mampu mengubah nasib negeri ini hanya dengan beberapa kata. Dan hidupnya begitu menyedihkan dengan hanya sanggup berbaring di atas kasur di atas tubuh kurus kering dan napas tersengal-sengal yang sangat dipaksakan. Matanya begitu sayu dan kabur, tapi aku tahu dia sadar akan kehadiranku ke ruangan ini karena matanya menatapku penuh rasa ingin tahu. Sama dengan beberapa orang hebat lain yang aku bunuh sebelumnya, mereka tidak pernah takut denganku, alih-alih mereka selalu ingin tahu sebuah alasan atau sesuatu yang lebih besar dibandingkan kematian. Dan itu membuatku semakin merasa kasihan kepada si tua renta ini.

Jendela kamarnya tiba-tiba terbanting sebelum angin masuk ke kamar ini. Tidak ada kekagetan di ruangan ini. Aku rasa kami berdua telah siap dengan kemungkinan apa pun, dan kematian siapa pun di ruangan ini. Tubuh pak tua itu kemudian bergetar kedinginan. Aku pun beranjak ke ruangan sebelah dan mengambil selimut lain yang ada di rumah ini. Mati dalam kondisi kedinginan adalah hal terakhir yang aku ingin dapatkan, dan bukan karena aku ingin balasan, melihatnya kedinginan membuatku merasa bahwa aku telah membuat diriku sendiri menggigil sebelum aku mati. Jadi aku tambahkan selimut ke tubuh si tua itu. Paling tidak, Ia akan mati dengan perasaan hangat sebelum pergi. Tidak seperti pelayannya yang mati dengan jeritan memuakkan.

Tiba-tiba saja pak tua ini menangis tersedu. Tubuhnya yang kecil dan ringan itu bergelotak di atas tempat tidur yang berlingir kayu. Matanya begitu memelas sembari memohon untuk sesuatu. Dan tangisannya semakin lama semakin mendayu di tengah malam yang dingin ini.

Aku berjalan mendekati tubuh tua itu penuh rasa kasihan. Aku mendekatkan wajahku ke kepalanya yang bergetar dan bergoyang perlahan karena rasa takut.

“Bersyukurlah.” Setelah aku berbisik, tubuhnya kemudian berhenti bergetar dan bergoyang. Matanya menatap langit-langit kosong dengan lampu kekuningan menempel di atas sana. Dan mulutnya menganga atas rasa takut yang tidak pernah ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puan Yang Ingin Merangkul Rembulan.

 Aku berlari menuju hujan Yang merintik dalam doa, Dan keinginan seorang puan untuk merangkul rembulan. Jalanan ini tak pernah sepi Kota yang terus berkilat Tanpa kenal kata mati, Memikat kedua matamu untuk terus berharap Menarik mu 'tuk selalu memohon di balik malam gelap. Aku tak pernah mengerti Kesederhanaan dalam batin itu Yang bergejolak menginginkan, Yang hanya sampai pada rasa sedih Dan putus asa. Aku hanya mengerti Bahwa jarak bukan tentang kereta Yang melesat jauh ke Jakarta, Namun tentang kau yang menatapnya Jauh di sana,  Sementara aku terjebak mengejar rintik yang menetes dalam doa. 5 Januari 2025

Dim Light

I'll let my heart sing your name,  even if you were far away when our eyes met.  I burn myself in a hellish love with a joyous heart,  for a fleeting happiness that vanishes as quickly as it ignites in this terrible world. That I'd burn for honest, and dim the dark with briefs lifeline.- Bantul, January 1st, 2025.

Maling Maut (CERPEN)

  Malam tidak pernah mengikari janji. Selalu datang ketika mentari terbenam, menyenangkan karena kepastiannya. Jauh dari manusia yang sulit dimengerti, tidak tertebak, dan banyak maunya. Sepertiku, maling terkenal tidak kenal ampun. ‘Maling Maut.’ Begitu Romi pemabuk kampung sebelah menjuluki aku. Ngawur memang itu orang. Karena aku beraksi sendirian dan tidak pernah tertangkap. “Bak Maut yang pasti datang tanpa ada yang tahu, barang pasti hilang dalam tanganmu!” begitu pernyataannya penuh rasa bangga. Romi adalah satu-satunya orang yang tahu profesiku ini, pun bukan karena aku berbagi rahasia dengannya. Hanya kebetulan dia memergoki aku sedang menggenggam kalung emas milik Cik Siska, perempuan kaya tukang pamer dari RT sebelah. Sore itu, aku mengayuh sepeda untuk pulang dari taman kota. Di saat senggangku dari profesi, teman-teman dan warga di kampung tempat tinggalku hanya tahu kalau aku seorang pelukis. Aku memang sangat suka melukis, di manapun dan kapanpun. Dan sore itu aku ...